Selasa, 29 Maret 2005

Nyawa Dibayar Nyawa

6 mobil kijang berwarna biru tua
keluar dari rumah tahanan Surabaya.
Sesaat setelah meninggalkan gerbang,
6 mobil itu berpencar ke 6 arah berbeda.

Di salah satu mobil itu,
ada Ibu Astini, 51 asal Wonorejo.
Tak ada yang tahu apakahmatanya sedang tertutupatau mungkin Ia sedang menangis.
Yang pasti, Ibu Astini dihantarmenuju tempat eksekusi hukum mati-nya.
Hutang sebesar Rp 20.000,-itulah yang membuatnya naik pitamdan melakukan mutilasi.
Bukan hanya sekali, tapi enam kali.

Tindakan di luar akal sehat initerungkap ketika ditemukankepala salah seorang korbandi selokan.
"Cucuku mati, dipotong-potong.
Wong di kuburannya cuma ada kepalanya.
Ya dia harus dihukum mati!Nyawa dibayar nyawa...
"kata salah seorang nenek korban.

Seteleh grasi ditolak Ibu Megawati,
Astini harus mendekam selama 8 tahun di penjara.
Bukan menanti kebebasan tapi kematian.
Penantian yang panjang dan penuh tekanan.
Selama penantian di penjara itu,

Ibu Astini bertobat dan berdoa kepada Tuhannya.
Tuhan memang Maha Penyayang.
Astini diberi kesempatan untuk bertemucucu-nya
serta kedua anaknya yang selama ini merantau.
Selama penantian itu pula,
Astini menjadi pusat perhatian media masa.

Tak kurang Nursyahbani Kantjasungkanamenyempatkan diri untuk menemuinya.
Dalam pertemuan ituIbu Astini menangis sejadi-jadinya.
Bagi Ibu Astini, semakin lama eksekusi dilakukan,
semakin lama pula penderitaannya.

Pihak keluarga melakukan berbagai cara agar eksekusi segera dilakukan.
Menyelesaikan nyawa Ibu Astini secepatnya dihayati lebih manusiawiketimbang membiarkan perempuan tua itumeringkuk di penjara menanti ajal.
Dua minggu sebelum eksekusi dilakukan,
pihak keluarga terus menerus mengunjunginya.
Memberikan kekuatan bagi batin dan moral.
Mereka berdoa bersama.
Bahkan seluruh narapidana di rumah tahanan Surabayaikut berdoa agar Tuhan mengampuni dosa danmenerima Ibu Astini di sisiNya.

6 senjata laras panjang mengarah ke jantung Ibu Astini.
3 diantaranya bermuatan peluruyang siap menembak Ibu Astini yang ditutup matanya.
Setelah aba-aba diberikan,
tembakan membahana memenuhi langit malam.
Beberapa saat kemudiansebuah tembakan terdengar lagi.
Tembakan terakhir berasal dari pistolyang ditembakan langsung ke kepala Ibu Astini.
Tuntas sudah penantian panjang itu
.
Nyawa Ibu Astini diambil oleh sesama manusia.
Hukuman yang dianggap undang-undangsetimpal dengan tindakan kejahatannya.
Di luar gedung eksekusi,
polisi berjaga-jaga.
Keluarga korban berkumpul sambilberteriak-teriak
"Nyawa dibayar nyawa!"

Tatapan dendam dan kepuasanterpancar jelas di wajah mereka.
Memang Ibu Astini secara biadabmemembunuh sesama makhluk ciptaan Tuhan.
Uang sebesar Rp 20.000,- cukup menjadi alasan baginya.
Uang yang bagi kita bisa habis sekali makan siang.
Membeli 2 bungkus rokok.
Atau sekedar terselip di celana jins.
Jika suatu saat nanti ada kesempatan untukberbincang-bincang dengan Ibu Astini,
ingin rasanya mencari tau apa alasandibalik semua tindakannya itu.

Bukankah itu yang terpenting?
Bisa jadi himpitan keuangan yang memangbisa membuat orang melakukan tindakandi luar akal sehat.
Seperti korupsi.
Ibu Astini telah menyelesaikan tanggung jawabnya.
Nyawa dibayar nyawa.

Bagaimana dengan penjahat korupsi?
Ribuan nyawa bisa melayangkarena tindakan korupsi.
Bukankah seharusnyanyawa dibayar nyawa pula?

Tidak ada komentar: